Bebaca.id – Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN menimbulkan kontroversi karena membatasi ruang gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindak pelaku korupsi dari jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN.
Aturan yang resmi berlaku sejak 24 Februari 2025 ini menggantikan UU Nomor 19 Tahun 2003, dengan salah satu poin krusialnya tertuang dalam Pasal 9G. Pasal tersebut menyebutkan bahwa direksi dan komisaris BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Imbasnya, para pejabat BUMN itu secara hukum tidak termasuk dalam cakupan wewenang KPK yang, berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019, hanya dapat menindak penyelenggara negara dalam kasus korupsi.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyampaikan bahwa lembaganya akan menelaah dampak dari perubahan regulasi ini terhadap kerja-kerja penindakan KPK.
“Perlu dilakukan kajian dari aspek hukum dan teknis penindakan, agar jelas seberapa besar pengaruh ketentuan ini terhadap upaya pemberantasan korupsi oleh KPK,” ujar Tessa kepada media, Minggu (4/5/2025).
Tessa menekankan bahwa kajian ini juga penting sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi pemerintah, terlebih mengingat komitmen Presiden Prabowo dalam memerangi korupsi dan mengurangi kebocoran anggaran negara.
Meskipun demikian, Tessa menegaskan bahwa KPK tetap terikat pada undang-undang yang berlaku. Jika pejabat BUMN tidak lagi termasuk penyelenggara negara secara hukum, maka KPK tidak bisa memproses kasus mereka.
“Kami adalah pelaksana undang-undang. Kalau mereka tak masuk kategori penyelenggara negara, tentu di luar kewenangan kami,” pungkasnya.
Penulis : Yusuf S A