Bebaca.id – Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang minyak yang sedang diselidiki Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai memiliki kemiripan dengan praktik mafia migas di Petral, anak perusahaan Pertamina yang telah dibubarkan.
Pendapat ini disampaikan oleh pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, yang juga merupakan mantan anggota Satgas Anti-Mafia Migas, Sabtu (15/3/2025).
Menurutnya, skema korupsi yang terjadi di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018–2023 melibatkan jaringan terorganisir yang terdiri dari berbagai pihak, termasuk elite pemerintahan, aparat keamanan, dan pengusaha.
“Jaringan mafia migas ini sangat mirip dengan yang dulu beroperasi di Petral, yang berpusat di Singapura,” ujar Fahmy dalam sebuah diskusi di UGM, Yogyakarta.
Fahmy menjelaskan bahwa Satgas Anti-Mafia Migas saat itu menemukan adanya permainan impor dan blending BBM yang dilakukan oleh Petral dengan cara bidding dan markup harga BBM Premium (RON 88) untuk meraup keuntungan besar.
Sayangnya, meskipun dugaan praktik mafia migas di Petral telah diungkap, penyelidikan terhadap aktor-aktor utama dalam kasus tersebut tidak berjalan maksimal.
“Saat itu, kami hanya bisa melaporkan temuan ini ke KPK, tapi karena Petral beroperasi di luar negeri, proses penyelidikan menjadi sangat sulit,” jelas Fahmy.
Sebagai solusi, Satgas Anti-Mafia Migas merekomendasikan penghentian impor BBM Premium serta pembubaran Petral, yang kemudian disetujui oleh Presiden Joko Widodo.
Namun, setelah Petral dibubarkan, tidak ada satu pun pelaku yang diproses hukum, dan kasusnya menguap begitu saja.
Oleh karena itu, Fahmy berharap agar kasus megakorupsi minyak mentah yang tengah diusut oleh Kejagung kali ini benar-benar diungkap hingga ke akar-akarnya.
“Presiden Prabowo harus menunjukkan komitmen dalam memberantas mafia migas. Siapa pun yang terlibat dalam jaringan ini harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Penulis : Yusuf S A